HINGGA Selasa pagi pekan itu, dua liang masih menganga terbuka di Taman
Pemkaman Umum (TPU) Penggilingan, Rawamangun, Jakarta. Itulah pertanda bahwa
Irvan Supandi dan Ahmad Rudiat masih berada jauh tinggi di sana, di Gunung
Salak, entah mati entah hidup. Itu juga berarti ratusan pecinta alam masih
terus menyusur Sungai Cibadak di gunung itu, tempat jenazah rekan mereka, yang
sudah mengisi empat kuburan baru di sebelah kedua liang kosong tadi, ditemukan dalam keadaan mengenaskan.
Sebuah akhir cerita hidup yang menyedihkan, memang. Padahal, tak ada
firasat buruk muncul di awal pendakian nahas ini. Ia bermula ketika delapan
siswa kelas dua STM Pembangunan Jakarta Timur mencari ide untuk mengisi hari
libur yang tiba-tiba menubruk mereka. Pasalnya, pada hari Jumat, 20 Februari
lalu itu, sekolah mereka kebanjiran hingga tak ada kegiatan belajar. Ditambah
lagi keesokan harinya para guru berniat mengadakan rapat, yang menyebabkan
murid bebas belajar. Wajar jika di pagi itu tiba-tiba muncul ide untuk mendaki
Gunung Salak keesokan harinya.
Secara spontan, perencanaan pun didiskusikan dan kata sepakat dicapai
untuk berkumpul di depan sekolah esok harinya, pukul 8 pagi. Adalah nasib jua
yang membuat Yumarsanto, 17, ternyata terlambat bangun. Toh ia masih mencoba
pergi ke tempat rendezvouz tersebut. Tapi ia cuma menjumpai tukang mi langganan
mereka, yang menginformasikan bahwa ia telah ditinggal. Belakangan, Yumarsanto
mengetahui ia tak sendirian. Boyke Zulkarnaen, yang tadinya juga merencanakan
berangkat, ternyata, urung ikut. Alhasil, hanya 6 orang yang berangkat: Ahmad
Rudiat, 19, Chaerudin, 18, Eddy Pujianto, 18, Irvan Supandi, 16, Mulyadi, 19,
dan Wisnu Herwanto, 18. Besar dugaan, Ahmad Rudiat alias Adit menjadi pemimpin
tak resmi rombongan ini. “Kata teman-temannya, ia memang paling berpengaruh,”
tutur Djukardi Adriana alias Bongkeng, anggota Wanadri yang menjadi on scene
commander operasi SAR di Gunung Salak ini. Adit memang punya modal untuk
memimpin. Hanya dia dan Mulyadi yang anggota resmi pecinta alam di sekolah
mereka, karena itu berhak memakai syal segitiga biru berinisial klub itu. Lagi
pula, ia berpengalaman mendaki Gunung Cermai di Cirebon dan Gunung
Gede–Pangrango di kawasan Puncak. Hingga, ayahnya pun Letkol Drs. A.R Sabirin,
mudah saja memberi izin anaknya mendaki Gunung Salak kendati istrinya
keberatan. “Dia cuma minta uang Rp 6.000 dan bilang hari Minggu sudah pulang,”
kata Sabirin. Agaknya, kepemimpinan Adit yang dibantu Mulyadi ini yang
menyebabkan rombongan kemudian memilih jalur pendakian yang tak umum.
Alasannya, memang, khas anak muda. Mereka tampaknya ingin membuat jalur
pendakian baru menuju pancuran tujuh, yaitu air terjun dekat puncak Gunung
Salak yang masih jarang dikunjungi orang. Mulyadi pernah merintis rute ini,
Desember 1986, tapi sampai di pancuran ketiga kehabisan perbekalan. Maka,
terpaksa perintisan rute ditangguhkan dan rombongan Mulyadi saat itu turun
kembali. Tapi mereka sempat meninggalkan tanda berupa ikatan tali rafia biru di
pohon yang mereka lalui. Rencananya, klub STM mereka yang bernama Teknik
Pembangunan Pencinta Alam (Tepepa) akan melanjutkan penelusuran. Ketua Tepepa,
Kelly Daryono, merencanakan melakukan ekspedisi ini sehabis pemilu nanti, dan
rute itu akan di namakan rute STM Pembangunan. Ada dugaan, rombongan Adit dkk.
ini ingin mendahului Kelly. Maklum, menurut rekan-rekan mereka, kedua siswa ini memang bersaing.
Sayangnya, semangat kompetitif yang sehat itu tak didukung persiapan yang
matang. Perlengkapan mereka sangat tak memadai untuk ekspedisi membuka jalur
baru: tak ada kompas, pakaian, dan makan yang mencukupi. “Yang paling fatal,
sebagai pendaki yang ingin menemukan rute baru, mereka tak membawa peta,” kata
Bongkeng. Perbekalan diperkirakan hanya disiapkan untuk dua hari, sedangkan
pakaian pelindung hujan terabaikan. Mulyadi, misalnya, berangkat dalam pakaian
seragam sekolah dan tak membawa jaket. Belakangan terbukti, hal yang kelihatan
sepele ini menjadi penyebab utama perjumpaan mereka dengan sang maut. Padahal,
medan Gunung Salak tergolong sulit. Banyak lembah dan jurang, dengan sungai
berair terjun yang diapit dinding yang curam.
Di dinding curam ini ada hutan-hutan yang ditumbuhi rotan, belitan
tamiang (pohon rambat), dan onak. Hingga saat ini, masih belum jelas bagaimana
sebenarnya rute yang mereka tempuh. Bila mereka meneruskan jalur rafia biru, berarti
mereka masuk dari Sukamantri dan terus naik ke arah selatan, hingga ikatan
rafia biru itu habis. Ini berarti mereka telah mendaki sekitar tujuh jam.
Mungkin mereka lalu meneruskan perjalanan menerabos semak ke selatan. Ini
terbukti dari ikatan rafia kuning yang mereka tinggalkan. Sementara itu,
terjalnya pendakian mungkin memaksa mereka mengarah ke barat daya. Bisa jadi,
di ujung ikatan rafia kuning ini ditemukan, sekitar satu setengah hari
pendakian dari Sukamantri, mereka mulai tersesat. Entah karena kehabisan tali
rafia kuning sebagai petunjuk atau mereka tergoda untuk menuruni gunung ke arah
timur. Maklum, arah itu sekilas terlihat landai dan lampu perumahan di lereng
gunung dapat terlihat jelas.
Bisa dibayangkan, dalam kondisi lelah, lapar, dan kedinginan, sinar
lampu perumahan itu terasa mengundang mereka untuk segera datang. Tanpa peta,
mereka tak menyadari bahwa di depan menghadang jurang yang dalam dan tebing
yang terjal.
Padahal, hujan terus mengguyur selama pendakian itu. Suasana panik atau
tergesa-gesa terkesankan dari ditemukannya banyak barang tercecer di daerah
ini, seperti sarung tangan, sapu tangan, sumbu kompor, dan supermi utuh. Apa
yang terjadi sesudah itu memang masih sulit diduga. Letkol Sabirin mulai merasa
waswas ketika anaknya tak kembali ke rumah hari Minggu, 22 Februari lalu.
Sampai Minggu malam, Sabirin masih berharap anaknya tertidur kelelahan di rumah
temannya. Tetapi ketika esok siangnya Adit masih belum muncul, Sabirin mulai
mengambil tindakan.
Mula-mula, ia menghubungi orangtua Mulyadi, yang ternyata malah tak
tahu anaknya mendaki gunung. Lantas, ia mencoba menghubungi rumah teman Adit
yang lain. Tanpa hasil. Maka, Selasa pagi, 24 Februari, Sabirin mencari
keterangan ke sekolah. Ternyata, pihak sekolah tak tahu ada muridnya yang
mendaki Gunung Salak. Bahkan baru hari itu mereka tahu bahwa di kelas Adit ada
enam siswa yang tidak hadir sejak Senin. Alhasil, Sabirin langsung berangkat ke
Bogor dan menghubungi Polsek Ciomas, di kaki Gunung Salak. Pengumpulan
informasi pun dilakukan dari masyarakat sekitar dan didapat keterangan memang
ada satu grup STM pergi mendaki, tetapi tak jelas dari STM mana. Lantas, dengan
ditemani Kapolsek Ciomas, Letda Budi Setiadi, dan 20 penduduk, Sabirin mendaki
Gunung Salak untuk mencari anaknya.
Hasilnya nihil. Maklum, menyisir Gunung Salak memang bukan pekerjaan
kaum amatir. Atas saran Kapolsek, Sabirin pun segera menghubungi SAR pusat, di
Jakarta, dan awal pencarian besar-besaran terhadap keenam pendaki itu pun
dimulai. Sayang, awalnya kurang menggembirakan. Pasalnya, mereka mendapatkan
informasi dari kelompok Wanadri Jakarta dan SMAN 8 Jakarta yang mendaki pada
hari yang sama dengan Adit dkk. bahwa mereka bertemu dengan kelompok STM antara
Warung Loa dan puncak Gunung Salak. Karena itu, pencarian pun dilakukan sekitar
Warung Loa itu. Baru pada 1 Maret tim SAR menyadari bahwa grup STM itu bukanlah
Adit dkk. Hal ini terungkap setelah Kelly Daryono bersama tujuh anggota Tepepa
lainnya dan seorang guru merintis jalur Sukamantri. Mereka malah kemudian
tersesat. Untung, hubungan radio handy talky yang mereka bawa dengan posko SAR
bisa terjalin. Mulanya, mereka disarankan untuk menunggu regu penjemput, tapi
Kelly dkk memutuskan mencoba jalan sendiri. Dibimbing dengan hubungan radio
komunikasi itu, akhirnya, mereka sampai di posko SAR.
Dari penuturan Kelly inilah tim SAR menyadari kekeliruan mereka.
Apalagi Kelly dkk. berhasil pula menemukan jejak yang meyakinkan, seperti
tulisan “MUL” (dari Mulyadi) di tepi sungai. Beberapa pihak menyayangkan Kelly tak
melaporkan ini lebih dini. Namun, ada juga yang heran mengapa tim SAR percaya
begitu saja bahwa Adit dkk. mendaki dari Warung Loa. “Memang, data yang masuk
dari Warung Loa itu yang membingungkan dan kami terlambat mendengar mereka
masuk dari Sukamantri,” kata Ir. Gustav Adolf “Ocim” Husein dari Wanadri.
Walhasil, pengorbanan tim SAR berdingin-dingin dan berletih-letih selama
seminggu di sekitar Warung Loa terhitung sia-sia belaka. Dengan petunjuk baru
yang lebih meyakinkan ini, daerah pencarian pun dipindahkan ke sekitar daerah
habisnya rafia kuning. Sementara itu, pemberitaan media pun mulai gencar
meliput upaya SAR ini. Dampak positif pemberitaan adalah mengalirnya sumbangan
sukarela dari masyarakat baik berupa materi maupun tenaga sukarelawan yang bagai
tak ada hentinya itu. Kendati jenazah yang ditemukan tim SAR 12 – 13 Maret lalu
telah rusak parah, penemuan ini menghentikan perasaan tidak pasti yang
mengimpit sanak keluarga mereka. sukarelawan baru terus berdatangan, termasuk
tim Skygers yang dipimpin Harry Suliztiarto.
Tim manusia cecak, yang pernah menaklukkan tebing Eiger di Pegunungan
Alpen, itu kini menyusuri jeram-jeram Sungai Cibadak untuk mencari Irvan dan
Adit. Kehadiran mereka memang sangat diharapkan, mengingat jeram ini 80-an
meter tingginya dengan keterjalan tinggi. Apakah mereka akan berhasil menemukan
Adit dan Irvan, yang telah hampir sebulan ini berdingin-dingin di ketinggian
nan sunyi, jauh di sana?
Diteruskan dari IOA, B. Harymurti : Laporan Toriq Hadad - Farid Gaban
No comments:
Post a Comment